Peradaban ditentukan oleh daya kreasi
manusia dan penyebaran daya kreasi itu. “kreasi” bisa macam-macam: ilmu,
bangunan, sastra, seni, musik, dan sebagainya. tetapi semua itu
dilandasi oleh ilmu. maka ilmu adalah unsur utama dari kemajuan. kalau
qur’an menurunkan ayat pertama dengan perintah iqra’, tentu kita bisa
paham sekarang, sebab zaman akhir adalah zaman orang harus membaca.
Tetapi apa yang harus dibaca jika tak ada yang ditulis? Kalam tuhan pun ditulis, sebab penyebaran pengetahuan sangat efisien melalui media penulisan.
meski benar bahwa membaca tak selalu harus membaca buku, tetapi tak
bisa dipungkiri, orang modern lebih mudah berkembang saat mereka banyak
membaca buku, sebelum nanti meningkat membaca ayat-ayat alam dan membaca
keruhanian. singkatnya, buku, teks, dan membaca, adalah jendela pertama
menuju cakrawala pengetahuan yang lainnya.
Demikian
pula dengan menulis. “menulis” tak selalu berbentuk huruf. kanjeng nabi
“menuliskan” pengetahuan di hati para sahabat. sebagian wali Allah
menuliskan pengetahuannya bukan lewat buku, tetapi melalui hati
muridmuridnya. tetapi,
jika kualitasmu belum sampai ke sana, bagaimana mungkin engkau akan
menulisi hati muridmuridmu? jika kau ingin menulisi hati murid dan
mencetak generasi hebat, maka engkau harus selevel dengan mbah hasyim
asyari, mbah kholil bangkalan, atau syekh syadzili. adalah benar mereka
juga menulis sedikit teks, tetapi “karya tulis” utamanya adalah
muridmuridnya yang menjadi ulama besar.
jika kau belum mencapai kualitas itu, kau bisa belajar dengan cara lain. menulis,
mengikat pengetahuan. menulis bukan sekadar berbagi, tetapi selama
engkau menulis, engkau sekaligus belajar pengetahuan.
intelektual zaman dahulu sadar betul pentingnya mengikat ilmu ini.
muhyiddin ibn arabi menulis ribuan buku tasawuf yang rumit, imam syafii
menulis ratusan kitab, imam ghazali menulis puluhan kitab dari yang
tebal sampai tipis, buya hamka, saat dipenjara, menyempatkan diri
menulis tafsir al-azhar, gus
dur menulis ratusan artikel dan beberapa buku yang memengaruhi generasi
muda NU, cak nur menulis puluhan artikel dan buku yang mengguncang pola
pemikiran islam modern – dan kau bisa tambahkan sendiri contoh lebih
banyak.
Musim telah berganti. Ulama besar dan cendekiawan penulis besar dari tembok pesantren telah pulang,
digantikan yang muda muda. Jika pesantren di masa lalu mampu
memunculkan tokoh besar dengan karya tulis yang sangat penting,
bagaimana santri yang dididik sejak generasi 1990-an dan 2000-an ini?
pernahkah kau mendengar karya tulis kontemporer yang mampu menggerakkan
perubahan, seperti tulisan cak nur, gus dur, zamarkhasy, gus mus, dan
yang selevel dengan mereka? sayang sekali, kadang kita sering mendengar
saat pesantren dikiritik karena mengabaikan kualitas pendidikan dan
kualitas pemikirannya, yang muncul adalah respon pembelaan diri, seperti
‘pesantren tidak mencetak orang pintar, tetapi mencetak orang
berakhlak,’ atau ‘ah, itu soal soal yang tidak menjadi pertanyaan
kubur,’ atau ‘ah buat apa pintar kalo moralnya bejat.’ dan
jawabanjawaban serupa. Tentu sah saja merespon seperti itu, tetapi bukankah islam juga butuh orang yang pintar dan mampu menulis. tidakkah mereka belajar dari sejarah, betapa ribuan pemikir islam dan ulama besar menulis buku yang bagus,
yang mampu menyumbang kemegahan peradaban Islam di era tahun 700 –
1300-an? jadi mengapa kita, yang dimanjakan dengan fasilitas teknologi,
tidak mengikuti tauladan ulama dahulu yang berjuang mencetak akhlak
sekaligus mencetak orang pintar?
Kini kemungkinan menulis terbuka lebar. jika belum bisa menembus penerbitan, ada blog, ada media online, dan segala macam yang bisa digunakan untuk berlatih serius menulis pemikiran yang bagus dan menuangkan gagasan, sekecil apapun.
Barangkali warkop sudah mulai. Tetapi
sayangnya, sebagian besar energi dibuang untuk melawan serangan wahabi.
Tentu penting juga membendung arus wahabisme, tetapi apakah dari sekian
banyak santri ini semuanya harus turun semua melawan wahabi? tidak
adakah yang mencoba menggagas persoalan persoalan riil umat, semisal
ekonomi, pendidikan, seni, sastra, kebudayaan? ada berapa banyak ilmu
agama di pesantren yang belum diterjemahkan untuk kemaslahatan umat?
pesantren adalah dunia intelektual dan pendidikan. Bukankah wajar jika
mestinya lahir karyakarya besar dari balik tembok pesantren?
Membentengi akidah aswaja penting,
tetapi benteng ini tak akan cukup kuat jika tak diimbangi dengan senjata
lain. Dan senjata itu adalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan akhlak.
engkau bisa mematahkan argumen teologis wahabi, tetapi umat umum yang
berhadapan dengan persoalan riil belum tentu peduli dengan argumen
teologi. Orang orang makin banyak yang membaca, makin berkembang
wawasannya. Jika santri dan pesantren tidak bisa mengikuti laju
perkembangan, sulit diharapkan kita bisa bertahan.
Kesadaran akan perubahan adalah penting.
Gus mus, adalah orang yang aku kagumi, karena beliau selalu mengajak
orang jangan berhenti belajar. Gus mus tak segan-segan membuka akun
twitter dan menyesuaikan gaya bahasanya dengan gaya bahasa kosmopolitan.
ini adalah contoh bagus bagaimana seorag gus mus ‘mengikat ilmu’ dengan
caranya sendiri, untuk dibagikan kepada orangorang zaman kini yang
tumbuh dan besar di dunia yang serba terhubungan via internet.
Ilmu tak akan berhenti berkembang, sebab
ilmu yang datang dari tuhan itu tak ada batasnya. Kitalah yang
terbatas. Tetapi kita tak tau seberapa besar keterbatasan kita jika kita
tidak terus belajar. Maka qur’an turun dengan iqra bismi rabbika,
bacalah dengan menyertakan rabb, bukan nama ilah. Salah satu fungsi
rabb adalah mendidik, mengajarkan. Kupikir kini kau paham, mengapa kita
mesti terus belajar, membaca dan menuliskan ayatayat tuhan yang mana saja yang bisa kau pahami. menulis, dan membaca. barokah dan faedahnya sungguh besar bagi orangorang yang mau mengamalkan dua perintah qur’an ini: tafakur dan berpikir.
0 comments:
Post a Comment